GAMBARAN TINGKAT KETERSEDIAAN PANGAN KELUARGA DAN STATUS GIZI BALITA PADA KELUARGA MISKIN DI DESA LAMBARO SKEP
KECAMATAN KUTA ALAM KOTA BANDA ACEH
Siti Maryam1, Fadli A.
Gani2
1Dosen Fakultas
Kedokteran Universitas
Malikussaleh-Lhokseumawe
2Dosen Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Syiah Kuala, Banda
Aceh
Diterima
25 Maret 2015/Disetujui 7 Oktober
2015
ABSTRAK
Pembangunan pangan dan gizi
adalah
upaya
pembangunan
yang bersifat
lintas sektoral yang
saling
berkaitan, yang tujuannya untuk mencukupi pangan m asyarakat secara merata dalam jumlah maupun mutu gizinya sehingga terpenuhi salah satu
kebutuhan pokok guna meningkatnya kesejahteraan masyarakat.
Penelitian ini bertujuan me ngetahui gambaran tingkat ketersediaan pangan keluarga dan status gizi anak
balita pada
keluarga
miskin Desa
Lambaro
Skep Kecamatan Kuta
Alam Kota Banda
Aceh.
Hasil penelitian menunjukan bahwa
40,3%
tingkat ketersediaan pangan terjamin,
sedangkan
59,7% berada
pada rawan pangan
dengan
berbagai tingkatan. Konsumsi energi
untuk anak balita
umur 1-3 tahun sebanyak 50 % telah mengkonsumsi sesuai dengan kebutuhan yang telah dianjurkan yaitu 1250 Kkal. Untuk anak
balita
umur 4-5
tahun 87,5 % konsumsi energinya kurang dari yang dianjurkan (1750) Kkal.
Konsumsi protein pada anak balita umur 4 -5 tahun lebih besar kekurangan protein (75%) dibanding
pada anak balita 1 -3 tahun (37,7 %). Status gizi balita menurut umur, dari 30 sampel usia 1 -3 tahun
60% mempunyai
status gizi baik, 36,7 % status
gizi kurang, dan
3,3, % status
gizi buruk.
Pada kelompok umur 4 -5 tahun status gizi kurang terbanyak 75 %, gizi ba ik 18,8 dan status
gizi buruk 6,3 %.
Kata Kunci : Ketersediaan Pangan,
Status gizi
PENDAHULUAN
Merosotnya perekonomian nasional yang
berakibat imflasi terus
meningkat dan krisis ekonomi yang masih melanda Indonesia, telah
membawa dampak negatif pada berbagai aspek
kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara kita.
Pada
sektor kesehatan
masyarakat,
upaya perbaikan gizi
yang dikembangkan melalui berbagai program pemerintah dan masyarakat
bertujuan untuk meningkatkan mutu gizi
dan
konsumsi pangan sehingga
berdampak pada perbaikan gizi masyarakat dan lebih lanjut dapat
meningkatkan intelektualitas, produktiv itas, dan prestasi kerja masyarakat, terutama pada balita.
Sebagaimana
diketahui,
dampak kesehatan dan gizi
yang tidak baik
pada bayi
dan balita berakibat
pada
organ otak yang tak terpulihkan (irreversible).
Bila kondisi
ini
terjadi
tidak diselesaikan dengan baik kemungkinan
besar
kita akan
kehilangan kesempatan menjadi
bangsa yang tangguh
pada generasi mendatang.
Menurut Untoro (2004), keadaan gizi anak balita di Indonesia, hingga
saat ini masih memprihatinkan. Pada tahun 2003 masih terdapat
27,3 % atau sekitar 5 juta anak balita menderita gizi kurang
dan 8,0 %
atau
sekitar 1,3 juta diantaranya mengalami gizi buruk.
Berdasarkan laporan
Depkes RI (2003),
pada tahun 2000 terjadi gizi buruk di Aceh 16,10
%, tahun 2001
turun menjadi 6,50 % dan tahun 2002
kembali turun
menjadi 5,40 %. Menurut laporan
Menteri Kesehatan RI (2005), 11,4 % anak balita
di Aceh
mengalami masalah kekurangan pangan
gizi akut,
angka ini sedikit lebih tinggi dari
kriteria
badan kesehatan dunia (WHO), yang menyatakan besaran masalah kekurangan gizi akut
di
atas 10 % merupakan masalah serius.
Dampak lain dari
krisis ekonomi mengakibatkan
terjadinya perubahan pola
konsumsi pangan di masyarakat dan gizi buruk
termasuk marasmus
dan
kwashiorkor akibat tidak
tercukupinya pangan dan kebutuhan gizi. Hal ini
menimbulkan bencana kelaparan dan kurang gizi
yang berakibat pada penurunan
kualitas sumber
daya manusia. Keberhasilan pembangunan
nasional
suatu bangsa ditentukan oleh ketersediaan Sumber
Daya Manusia (SDM) yang berkualitas, yaitu SDM yang memiliki fisik
yang
tangguh,
mental yang kuat
dan kesehatan yang prima disamping penguasaan
Ilmu Pengetahuan
dan
Teknologi
(IPTEK). Kekurangan
gizi dapat merusak kualitas
SDM, disamping dapat mencegah masyarakat
untuk berkiprah dan berpartisipasi dalam pembangunan.
Pangan merupakan salah satu kebutuhan
manusia yang mendasar, dianggap strategis dan mencakup hal-hal yang bersifat emosional, bahkan politis. Terpenuhinya pangan secara kwan titas dan
kuwalitas merupakan hal yang sangat penting sebagai landasan bagi pembangunan Indonesia
seutuhnya dalam jangka panjang. Undang-undang
pangan nomor 7 tahun 1 9 9 6 juga mengamanatkan
bahwa pangan merupakan salah
satu
kubutuhan pokok yang pemenuhannya merupakan
bagian
dari hak azasi nanusia (Martianto dan Ariani, 2004).
Pembangunan pangan
dan gizi adalah
upaya pembangunan
yang bersifat
lintas sektoral yang saling berkaitan, yang tujuannya untuk mencukupi pangan masyarakat secara merata dalam
jumlah maupun mutu gizinya sehingga
terpenuhi
salah satu
kebutuhan pokok guna meningkatnya
kesejahteraan
masyarakat. Ketahanan
pangan Indonesia selama tiga dekade lalu, be rada
dalam kondisi yang aktif dengan ketersediaan
pangan
perkapita
meningkat
dari
2000 kkal/hari
pada tahun 1960-an menjadi
sekitar 2700 kkal/hari
awal
tahun l990-an (Food And Organization,1996).
Prevalensi gizi kurang akut sangat berhubungan erat
dengan
masalah -masalah
lain,
seperti
kemiskinan, pengetahuan dan perilaku gizi yang rendah, kondisi sanitasi yang
kurang serta
kebutuhan makanan yang tidak tercukupi.
Faktor lain
yang berkaitan dengan status gizi dan pertumbuhan balita adalah penyakit infeksi.
Berdasarkan permasalahan yang telah
dikemukakan
di atas maka
yang menjadi pertanyaan dalam penelitian ini adalah bagaimana
tingkat ketersediaan
pangan
keluarga dan status
gizi anak balita
pada keluarga miskin di Desa
Lambaro Skep Kecamatan Kuta Alam Kota Banda Aceh
Adapun tujuan
penelitian ini adalah untuk mengetahui
gambaran tingkat ketersediaan pangan
keluarga dan status gizi anak balita pada keluarga miskin Desa
Lambaro Skep Kecamatan Kuta
Alam Kota Banda Aceh.
METODE PENELITIAN
Disain, Tempat dan Waktu Penelitian
Disain penelitian
ini
dilakukan
dengan
pendekatan cross-sectional study. Penelitian ini
dilakukan di Desa Lambaro Skep Kecamatan Kuta
Alam Kota Banda Aceh pada bulan Juni sampai Agustus 2013. Populasi
dalam penelitian ini adalah
seluruh keluarga miskin yang ada di
desa
Lambaro Sekep,
sedangkan yang
menjadi sampel adalah
seluruh keluarga miskin yang mempunyai balita (1 -5
tahun) yaitu sebanyak 62 KK.
Jenis dan Cara Pengumpulan Data
1. Karakteristik keluarga (umur orang tua, pekerjaan orang tua).
Pengumpulan data
diperoleh
dengan pengisian kuesioner.
2. Data tingkat ketersediaan pangan keluarga diperoleh
dengan cara
wawancara dengan
menggunakan kuesioner.
3. Tingkat konsumsi energi dan protein, diperoleh dengan menggunakan formulir List-recall
method selama 2 x 24 jam
yang meliputi
jenis bahan makanan dan jumlah yang dikonsumsi.
4. Status gizi balita dengan cara melihat
hasil penimbangan berat badan dan umur balita.
Pengolahan dan Analisis
Data
1. Karakteristik keluarga. Umur ibu dihitung dalam tahun,
kemudian dipersentase. Data pekerjaan
ayah dan ibu dikelompokkan
berdasarkan
jenisnya dan
dihitung persentasenya.
2. Tingkat ketersediaan
pangan diperoleh
berdasarkan
jawaban
responden
terhadap
pertanyaan kuesionar yang disusun oleh Bickel,
dkk (2000). Untuk keluarga yang memiliki
balita dikatagorikan sebagai berikut:
a. Terjamin: Jika kurang dari atau sama dengan 2
dari 18 pertanyaan yang
disediakan,
dijawab
dengan sering
atau
kadang-kadang, ya, dan hampir setiap bulan atau beberapa bulan tetapi tidak
setiap bulan.
b. Rawan kelaparan, dikelompok atas tiga katagori yaitu:
- Rawan kelaparan tingkat ringan : jika 3-
7 dari
pertanyaan yang ada, diantaranya dijawab : sering/kadang-kadang, ya dan hampir setiap bulan/beberapa bulan tapi
tidak setiap bulan
- Rawan kelaparan tingkat sedang : jika 8-
12 dari
18 pertanyaan yang ada diantaranya
dijawab : sering/kadang- kadang, ya dan hampir setiap
bulan/beberapa
bulan tetapi tidak setiap
bulan.
- Rawan kelaparan tingkat berat : jika 13-
18 dari
18 pertanyaan yang ada diantaranya
dijawab : sering/kadang- kadang, ya
dan hampir setiap bulan/ beberapa bulan tetapi tidak setiap bulan.
3. Data
konsumsi pangan anak
balita
diperoleh dengan metode ricall selama 2x24 jam melalui
wawancara dengan ibu atau anggota keluarga
lain yang adala di rumah dengan menggunakan
formulrir list
recall
form.
Tingkat konsumsi
energi dan protein anak balita diukur dengan
mengkorversikan makanan yang dimakan
dalam bentuk kalori dan protein lalu
dibandingkan
dengan angka kecukupan gizi
anak balita yaitu :
a. Umur 1-3 tahun :
Energi 1250 kkal = cukup
1250 kkal = kurang
Protein 23 gram = cukup
23 gram = kurang
b. Umur 4-5 tahun :
Energi 1700 kkal = cukup
1700 kkal
= kurang
Protein 32 gram = cukup
32 gram
= kurang
4. Status gizi
diperoleh dengan cara
melakukan
penimbangan berat
badan (BB/U) dan baku
rujukan yang digunakan adalah menurut WHO-
NCHS dengan katagori: gizi lebih, gizi baik,
gizi kurang, gizi buruk dengan rumus perhitungan Z-score yaitu sebagai berikut :

Data yang telah dikumpulkan dikelompokkan menurut
peubahnya, kemudian
ditabulasi
dan
dianalisis secara
deskriptif.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Ketahanan pangan
keluarga
adalah
kemampuan setiap keluarga dalam
memenuhi
kebutuhan konsumsi
pangan
bagi anggota keluarganya dan memiliki kemampuan untuk mengakses pangan secara fisik yang
ditunjukkkan untuk ketersediaan pangan maupun
secara ekonomi yang
berkaitan dengan pendapatan keluarga. Ketahanan pangan
keluarga dapat dilihat dari kecukupan konsumsi maupun
ketersediaan pangan yang didukung oleh
kemampuan daya beli keluarga.
Tingkat ketersediaan pangan
Tingkat ketersediaan pangan
keluarga
di
Desa Lambaro Skep yang diukur secara
kuantitatif
yang dalam
hal ini dilihat dari tingkat kerawanan
pangan
keluarga.
Pada Gambar
1
terlihat bahwa
dari 62 responden yang diwawancarai ternyata
40,3% tingkat ketersediaan pangan terjamin,
sedangkan 59,7% berada pada rawan pangan
dengan berbagai tingkatan. Hal
ini dikarenakan kemiskinan yang menyebabkan keluarga tidak
mampu
membeli pangan
untuk
mencukupi
kebutuhan minimum keluarga.

Gambar 1
Distribusi Tingkat Ketersediaan Pangan
Keluarga Di Desa Lambaro Skep
Pada Gambar 2 tingkat
ketersediaan pangan dibagi
dalam
kelompok umur anak balita. Pada kelompok umur
1-3
tahun terdapat
53,3% yang mempunyai
tingkat ketersediaan pangan rawan tingkat ringan.
Untuk kelompok
umur 4 -5 tahun tingkat kerawanan
pangan tersebar pada
rawan
pangan tingkat ringan dan sedang yaitu 28,1 dan 25
%, sedangkan yang terjamin sebesar 46,9 %.
Tingkat ketersediaan
pangan
sangat tergantung
dari pendapatan dan mata pencaharian keluarga.

Gambar 2 Distribusi Tingkat Ketersediaan Pangan
Keluarga Berdasarkan Umur Anak
Balita
Di Desa Lambaro Skep
Tingkat Konsumsi Energi Anak Balita
Masa balita adalah masa di mana anak -anak harus
mendapatkan
secara maksimal zat-zat gizi
yang diperlukan untuk
pertumbuhannya.
Tersedianya pangan yang cukup dalam keluarga
baik dalam
jumlah maupun mutunya dapat
mempengaruhi tingkat
konsumsi pangan keluarga. Dari
hasil
penelitian yang dilakukan terhadap 62 responden
dengan
cara
recall selama 2 x 24 jam
didapatkan
bahwa, untuk
anak balita umur 1-3 tahun 5 0
%
diantaranya
mengkonsumsi energi cukup atau telah sesuai dengan kebutuhan yang telah dianjurkan yaitu 1250 Kkal.
Untuk anak balita
umur 4-5 tahun 87,5 % konsumsi energinya kurang
dari
yang dianjurkan (1750) Kkal .

Di Desa Di Desa Lambaro Skep
Tingkat Konsumsi Protein Anak Balita
Protein merupakan zat
gizi yang sangat di
butuhkan oleh anak balita untuk pertumbuhan otot
dan
organ-organ
tubuh
serta
perkembangan otak.
Kurangnya
protein yang berkepanjangan akan berdampak pada rendahnya tingkat kecerdasan
anak.
Anak yang tingkat kecerdasannya kurang
beresiko untuk
kehilangan
sebagian
besar
potensinya untuk menjadi sumber daya manusia kelas satu karena menurunnya kemampuan intelektual anak.
Tingkat
konsumsi protein untuk
anak balita di Desa Lambaro Skep umur 1 -3 tahun adalah 63,3
% konsumsi proteinnya
cukup atau
diatas kebutuhan yang dianjurkan yaitu 23 gram.
Untuk yang berumur 4 -5 tahun konsumsi protein yang kurang sebesar 75 %.

Gambar 4 Tingkat Konsumsi Protein Anak Balita
Di Desa Di Desa Lambaro Skep
Pada Gambar 4 terlihat
jelas pada
anak balita umur 4-5 tahun lebih besar kekurangan protein (75%) dibanding
pada anak
balita
1 -3
tahun (37,7 %). Bila dilihat dari rata-rata konsumsi energi dan
protein yang
di konsumsi
anak balita sebagian besar masih berada di bawah kecukupan. Hanya rata-rata konsumsi protein
pada usia 1-3 tahun yang telah sesuai dengan anjuran
Angka Kecukupan Gizi (AKG). Ini disebabkan
karena pada
usia 1-3 tahun merupakan usia konsumtif pasif, dimana anak masih mau makan apa saja yang
diberikan
oleh ibunya atau
pengasuhnya.
Dan
pada usia ini masih
terdapat susu didalam
menu makanan sehari-hari.
Pada usia 4-5 tahun
selain tidak mendapatkan susu, mereka
juga telah
bisa memilih makanan apa yang mereka suka, sehingga
peran orang tua sudah mulai berkurang
dalam memperhatikan makanan bagi anak mereka.
Tersedianya pangan yang cukup dalam
keluarga atau
masyarakat, belum menjamin bahwa kebutuhan akan gizi setiap
anggota
keluarga sudah terpenuhi.
Kecukupan gizi bagi
seseorang sepenuhnya tergantung pada
apa
yang dimakannya, (Suharjo, dkk). Ketersediaan
makanan dalam rumah tangga tidak dapat memberikan gambaran tentang distribusi di
rumah
tangga
atau individu, dengan perkataan lain tingkat
ketersediaan tidak indentik dengan kualitas yang dikonsumsi oleh masyarakat ataupun perorangan.
Situasi pangan dan gizi masyarakat
dipengaruhi oleh berbagai faktor yang saling
terkait dan sangat
komplek, mulai
dari
kemampuan produksi, penyediaan pangan, kelancaran distribusi, struktur dan jumlah penduduk, daya beli rumah tangga, sampai pada
kesadaran
gizi penduduk
dan
keadaan sanitasi lingkungan.
Banyak faktor
yang mempengaruhi keadaan
gizi
seseorang. Konsumsi yang kurang
bukan hanya disebabkan oleh kemiskinan harta
saja,
tetapi rendahnya pengetahuan
tentang kebutuhan
gizi anak, sikap
tidak peduli merupakan
faktor utama yang menyebabkan kurangnya
konsumsi energi dan protein pada anak balita 4 -5 tahun.
Status Gizi
Pada kelompok balita, satu dari tiga anak di
dunia menderita kekurangan gizi
dalam bentuk
gangguan pertumbuhan karena kurang
mengkonsumsi energi dan protein (KEP). Tidak
jarang anak
yang kekurangan energi dan protein juga
menderita kekurangan vitamin dan
mineral. KEP adalah salah satu masalah gizi kurang akibat konsumsi makanan yang tidak
cukup
mengandung
energi
dan protein serta
karena gangguan kesehatan. Manifestasi dari KEP dalam diri penderitanya ditentukan dengan mengukur
status gizi anak. Jenis penderita ini banyak
dijumpai
di daerah -daerah
miskin di Propinsi Aceh.

Gambar 5 Sebaran Status Gizi Anak Balita Di
Desa Di Desa Lambaro Skep
Status gizi anak
balita
di ukur melalui
berat badan menurut umur ( BB/U ) yang dalam
penelitian ini menggunakan daftar
baku
antropometri yaitu baku WHONCHS berdasarkan perhitungan Z-score,
yang
dikatagorikan gizi
lebih,
gazi
baik, gizi kurang dan gizi buruk. Dari 62 anak balita yang dijadikan sampel
56,5 %
anak
balita
mempunyai status gizi kurang dan 4,8 % berstatus gizi buruk.
Hanya 38,7 % yang berstatus gizi baik. Bila
dibandingkan dengan angka
dari menteri kesehatan
RI
2005), 11,4 % anak balita di Aceh mengalami masalah gizi akut.
Bila dikelompokkan menurut
umur, dari 30 sampel usia 1-3 tahun 60% mempunyai status gizi baik, 36,7 % status gizi kurang, dan 3,3, % status gizi buruk. Pada kelompok umur 4 -5 tahun status
gizi kurang terbanyak 75
%, gizi
baik 18,8 dan
status gizi buruk 6,3 %.

Gambar 6 Sebaran Status Gizi Berdasarkan
Kelompok Umur Anak Balita di Desa Lambaro Skep
Gizi kurang pada anak sangat berbeda
sifatnya dengan orang dewasa. Pertama,
kurang gizi
pada
anak tidak
mudah dikenali
oleh masyarakat bahkan oleh keluarga. Artinya, gizi kurang yang terdapat pada anak tidak
segera
menjadi perhatian
karena anak tampak tidak sakit.
Kedua, terjadinya gizi kurang pada anak balita tidak selalu didahului
oleh terjadinya
bencana
kurang
pangan dan kelaparan
seperti halnya pada gizi buruk orang dewasa. Artinya dalam keadaan pangan yang berlipah pun, masih mungkin
terjadi
kasus
gizi kurang pada balita. Ketiga, oleh karena faktor penyebab timbulnya gizi kurang anak balita
lebih komplek, maka upaya penanggulangannya memerlukan pendekatan
dari berbagai segi
kehidupan
anak
secara terintegrasi. Artinya, tidak cukup
dengan
memperbaiki
aspek makanan tetapi juga
lingkungan, mutu pelayanan kesehatan dan sebagainya. Keempat, pencegahan dan penanggulangan
balita
yang menderita gizi kurang dan gizi buruk
memerlukan partisipasi aktif orang
tua dan masyarakat setempat (Soekirman, 2000).
Makanan kadang-kadang
tidak menjadi
bermanfaat seperti yang harapkan,
karena
masyarakat
kurang mengerti dalam
memanfaatkan
dan pengolahan bahan makanan
tersebut. Begitu juga makanan yang diberikan untuk anak balita.
Biskuit dan susu yang diberikan tidak terpikirkan oleh ibu untuk diolah menjadi
makanan lain yang
lebih di sukai oleh anak mereka, sehingga
makanan tersebut tidak menumpuk di gudang.
Semuanya ini menunjukkan
bahwa pengetahuan gizi dan pendidikan yang lebih
diutamakan. Hal ini juga
memperlihatkan perlunya
perhatian yang lebih besar terhadap
penyedia
makanan yang sesuai menurut kebiasaan setempat.

Gambar 7 Tingkat Ketersediaan Pangan Keluarga
Dan Status Gizi Anak
Balita di Desa Lambaro Skep
DAFTAR PUSTAKA
Departemen Kesehatan R.I. 2005. http:/www. Ero muslim.
Com/br/ns/54/18487, I, V, html
Depkes R.I, 2002. Pedoman Penanggulangan Masalah
Gizi Dalam Keadaan Darurat . Jakarta
Depkes R.I. 2003, Gizi Dalam Angka Sampai Tahun
2002. Direktorat Jenderal Gizi Masyarakat. Jakarta.
FAO ( Food and Organization ). Dikutip oleh
S.Maryam dalam Penyusunan rencana penelitian Startegi Koping Keluarga
Terkena Musibah bencana Gempa dan Tsunami di
Nanggroeu Aceh Darusalam tahun 2005.
Hardinsyah dan D.
Martianto. 1988. Menaksir
Kecukupan Energi Dan Protein Serta Penilaian
Mutu Gizi konsumsi Pangan. Wirasari.Jakarta.
Hardinsyah, dkk.
1999. Membangun Sistem Ketahanan
Pangan yang Tangguh. DalamA.R.Thaha, Hardinsyah. A. Ala, Pembangunan Gizi dan Pangan dari Presfektif Kemandirian Local.
Hardinsyah dan Briawan.1994. Penilaian
dan Perencanaan Konsumsi Pangan. Diktat Jurusan Gizi Masyarakat
dan Sumber Daya Keluarga.
Fakultas Pertanian.
IPB.
Jahari. A. B. 2002. dalam
lokakarya Perumusan
Indikator Kelaparan .
Kerja sama Pusat Studi Kebijakan Pangan
dan Gizi Lembaga
Penelitian IPB
dan Proyek
Koordinasi
Kelembagaan Ketahanan Pangan. Badan Bimas
Ketahanan Pangan ( BBPK), Deptan. Bogor.
Khumaidi. M.1994. Gizi Masyarakat, Jakarta, PT.BPK Gunung Mulia.
Martianto,
D dan
M. Ariani. Analisis Perubahan Konsumsi dan Pola Konsumsi Pangan Masyarakat
Dalam Dekade Terakhir dalam
Widyakarya
Nasional
Pangan dan Gizi VIII.
Jakarta, 17-19 Mai 2004.
Riyadi, H. 2001. Metode Penilaian Status Gizi Secara
Antropometri. Diktat
Jurusan Gizi Masyarakat
dan Sumber Daya
Keluarga,
Fakultas Pertanian, IPB, Bogor.
Sohardjo. 1998. Neraca Bahan Makanan, Pusat Antar
Universitas IPB Bekerja sama Dengan lembaga Sumberdaya Informasi IPB.
Soekirman. 1999/2000.
Ilmu
Gizi dan Aplikasinya Untuk Keluarga Dan Masyarakat, Direktorat
Jendral Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional. Jakarta.
Suhardjo. 1996. Penilaian Keadaan
Gizi
Masyarakat.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
Direktorat jenderal pendidikan Tinggi. Pusat Antar Universitas Pangan DAN Gizi Bogor.
Supariasa, I. D. N, B. Bakti , I. Fajar.2002 Penilaian
Statun Gizi. Jakarta. Penerbit
buku Kedokteran
Suhardjo,dkk.1986. Pangan, Gizi dan
Pertanian.
Jakarta. UI-press
Thaha. A.R, V.Hadju, Satoto,
Hardinsyah. 2002.
Pangan dan Gizi di Era Sentralisasi:
Masalah
dan
Strategi Pemecahannya. Bogor. DPP
Pergizi Pangan Industri bekerja sama dengan Pusat Pangan , Gizi dan Kesehatan UNHAS.
Tim Koordinasi Penanggulangan Masalah Pangan dan Gizi,1999. Gerakan Nasional
Penanggulangan Masalah Pangan
dan Gizi di Indonesia.
Untoro Rachmi.2004.
Kebijaksanaan dan Program Gizi Anak di Indonesia Saat Ini dan Mendatang, dalam
Inovasi Pangan dan Gizi Untuk
Optimalisasi Tumbuh Kembang Anak.
ASA. Jakarta.